#Ngahuleng #4


… Lalu bukan berarti aku tidak lagi mempercayai adanya persahabatan jika sahabat selalu mengecewakan sebab aku masih memiliki hati. Hebatnya hati, ia selalu memerlukan kelapangan yang tak terukur untuk bisa memaafkan siapapun. Tanpa terkecuali. Bukan hanya sekedar musuh, tapi juga sahabat. Sepertiku yang selalu membutuhkannya sebab memaafkan seorang sahabat lebih sulit rasanya daripada memaafkan seorang musuh. Dari diam yang tak berkesudahan ini, aku ingin mengkhatamkannya. Aku tidak ingin lagi bermain dalam permainan petak umpet yang merumitkan selama hidupku, sahabatku bersembunyi dibalik perasaan bersalahnya, dan aku bersembunyi dibalik amarahku.
Namun jika perasaan itu masih juga menyalahinya, barangkali dia perlu tengok kisah Soekarno-Hatta. Dibalik kehebatan sebagai proklamator, apakah mereka tidak perlu membangun persahabatan yang hebat pula? Aku merinding membaca risalah-risalah jejak sejarah itu. Nyatanya, Hatta tidak pernah melupakan sahabatnya, Soekarno, selama 14 tahun yang tak pernah dijumpainya lagi usai mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Dan akhirnya dalam keruntuhan bintang sahabatnya yang tak bersinar lagi di era 50’an, tetaplah Hatta menyempatkan diri menjenguk sahabat terdekatnya itu dalam suasana duka, 19 Juni 1970 tepat tiga hari sebelum Bung Karno meninggal dunia. Ya, pada akhirnya Hatta juga memerlukan kelapangan hati untuk Bung Karno yang pernah berkata “Hatta dan aku tak pernah berada dalam getaran-getaran gelombang yang sama.”

#Ngahuleng #3

#Ngahuleng #2