… Lalu bukan berarti aku tidak lagi mempercayai adanya persahabatan jika
sahabat selalu mengecewakan sebab aku masih memiliki hati. Hebatnya
hati, ia selalu memerlukan kelapangan yang tak terukur untuk bisa
memaafkan siapapun. Tanpa terkecuali. Bukan hanya sekedar musuh, tapi
juga sahabat. Sepertiku yang selalu membutuhkannya sebab memaafkan
seorang sahabat lebih sulit rasanya daripada memaafkan seorang musuh.
Dari diam yang tak berkesudahan ini, aku ingin mengkhatamkannya. Aku
tidak ingin lagi bermain dalam permainan petak umpet yang merumitkan
selama hidupku, sahabatku bersembunyi dibalik perasaan bersalahnya, dan
aku bersembunyi dibalik amarahku.
Namun jika perasaan itu masih juga
menyalahinya, barangkali dia perlu tengok kisah Soekarno-Hatta. Dibalik
kehebatan sebagai proklamator, apakah mereka tidak perlu membangun
persahabatan yang hebat pula? Aku merinding membaca risalah-risalah
jejak sejarah itu. Nyatanya, Hatta tidak pernah melupakan sahabatnya,
Soekarno, selama 14 tahun yang tak pernah dijumpainya lagi usai
mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Dan akhirnya dalam keruntuhan
bintang sahabatnya yang tak bersinar lagi di era 50’an, tetaplah Hatta
menyempatkan diri menjenguk sahabat terdekatnya itu dalam suasana duka,
19 Juni 1970 tepat tiga hari sebelum Bung Karno meninggal dunia. Ya,
pada akhirnya Hatta juga memerlukan kelapangan hati untuk Bung Karno
yang pernah berkata “Hatta dan aku tak pernah berada dalam
getaran-getaran gelombang yang sama.”
#Ngahuleng #4
Labels:
Penggalan Cerita
- Tuesday, August 11, 2015
Subscribe to:
Posts (Atom)