#Narasi #Rantau #Part 1

Ini tentang kehidupan yang terkadang membosankan.
Ya, hidup yang seperti itu-itu saja. Gue terkadang berpikir untuk pergi saja ke tempat dimana tidak ada satu orang pun mengenal gue. Hingga akhirnya gue dipertemukan dengan pilihan itu, suatu opsi dimana gue akan pergi ke tanah yang tidak ada satu pun yang mengenal gue (awalnya).
Tahun 2012, itu pertama kalinya gue menginjakkan kaki di tanah perantauan ini. Sebut saja kota yang dikenal dengan sebutan kota "tape", Jember. Kota ujung timur Pulau Jawa sebelum Banyuwangi.
Awalnya gue nggak yakin dengan destinasi perantauan gue. Bayangkan saja, gue nggak kenal siapa-siapa disini. Tidak ada segelintir manusia pun (dari masa lalu) yang gue kenal. Disini gue benar-benar survive. Menjejaki kehidupan gue sendiri. Tapi gue senang, kenapa? Ya, disinilah gue bisa mencari jati diri gue yang sebenarnya. Gue bisa menjadi diri gue semau gue tanpa ada yang tahu persis bagaimana kepribadian gue sebelumnya. Bisa dibilang sih, orang-orang memang mengenal gue dari nol. Meskipun gue akui, banyak hal-hal yang kadang bikin gue sedih selama gue merantau ditanah yang asing ini.
Pertama, karena memang disini gue benar-benar survive, jadi bisa nggak bisa, mau nggak mau gue harus pandai-pandai membuat orang lain welcome sama gue. Siapapun. Tanpa terkecuali. Beda halnya dengan misalnya lo merantau ke tempat yang setidaknya ada beberapa orang yang lo kenal. Kapan pun lo bisa datang ke dia semau lo. Dengan lo sudah kenal dia sebelumnya, sebut saja dia adalah kerabat atau teman dekat lo, jadi lo nggak sungkan untuk meminta bantuan. Bayangkan jika sebaliknya, lo datang ke tempat asing yang benar-benar lo anggap asing dan lo belum pernah tahu sebelumnya. Inilah kehidupan survive gue, jika dalam bahasa Sunda istilahnya gue harus pandai-pandai "ngala hate jelma" (red: membuat semua orang menyukai dan terbuka untuk saling tolong menolong).
Kedua, syndrome yang paling umum dirasakan semua orang saat pertama kali hijrah ke tempat baru gue yakin yaitu adanya rasa kesepian. Tidak bisa dipungkiri saat itu lo benar-benar akan merasa disitulah hinggap perasaan kehilangan (untuk sementara waktu) orang-orang yang dekat dengan lo. Keluarga, kerabat, sahabat, teman, bahkan bisa juga seseorang yang lo anggap spesial. Kalau yang gue rasakan sendiri saat pertama kali merantau kesini adalah gue benar-benar merasa kehilangan keluarga dan sahabat dekat gue. Kebetulan saat itu gue lagi nggak punya seseorang yang spesial. Hehe.
Sebandel-bandelnya gue, sebut saja sewaktu masa-masa sekolah SMP-SMA gue memang jarang sekali melewatkan waktu bersama keluarga di rumah. Sibuk dengan kegiatan di sekolah dan organisasi. Berangkat jam 6 pagi, pulang jam 6 sore sudah menjadi rutinitas gue. Sepulang sekolah makan, belajar, dan istirahat. Selalu seperti itu. Jadi gue juga jarang melewatkan waktu bersama dengan keluarga, terutama orang tua. Pantas saja, kedua kakak gue juga sudah di luar kota semua. Di rumah hanya ada bokap sama nyokap. Tapi saat pertama kali ke tanah perantauan ini, saat itu gue diantar keluarga (lengkap), nggak gue sangka sebelum mereka balik lagi ke tanah Sunda. Mereka menangis, terutama nyokap gue. Bayangkan, anak mana yang bisa menahan rasa sedihnya saat melihat orang tuanya menangis. Mungkin musabab itu juga yang membuat gue merasa benar-benar kehilangan. Disitu pula gue merasa bahwa gue benar-benar dianggap sebagai seorang anak yang akan dirindukan. Gue juga bisa memaklumi mengapa nyokap bisa menangis sedemikian merasa kehilangan gue gitu, pasti karena sedari kecil gue memang nggak pernah merantau sejauh itu.
Rasa kehilangan kedua yang membuat gue benar-benar merasa kesepian adalah gue mendapatkan satu kenyataan bahwa gue nggak bisa mewujudkan impian bareng sahabat gue. Ya, impian untuk bisa berada disatu kampus yang sama. Impian yang sudah gue tunggu sejak tahun 2010. Saat itu, lulus dari SMP gue beda sekolah dengan sahabat karib gue. Sebutt saja dia sudah seperti adik gue sendiri yang bahkan bisa dibilang lebih berarti dari kerabat sendiri. Kami beda SMA, dan sejak beda SMA itu kami memiliki sebuah impian untuk bisa masuk pada satu universitas yang sama. Sayang, impian itu tidak terwujud kendala jalan hidup kita yang berbeda.
Ketiga, saat gue merasa rindu rumah atau bisa dibilang homesick maka jalan satu-satunya adalah menyibukkan diri sendiri. Kadang juga bisa seharian berdiam diri di kamar, melakukan hal-hal apapun yang bisa melepas kejenuhan. Baca buku, nonton film, tapi lebih seringnya sih gue nulis. Yah, walaupun tulisan gue bisa dibilang esek-esek tapi alhamdulillah beberapa tulisan gue udah dimuat dibuku antologi dan koran lokal. Gue sih berpikir setidaknya waktu yang membuat gue jenuh itu bisa menjadi produktif. Meskipun sebenarnya memang mau nggak mau gue harus pending rasa rindu gue akan kampung halaman tercinta.

Itulah sekelumit hal tidak menyenangkan yang gue alami selama gue menginjakkan kaki ditanah rantau ini. Masih banyak hal-hal detail yang belum gue ceritakan, next time bisa dilanjut. ^^

0 comments:



Post a Comment